Si Dua Masketir (II)

Si Dua Masketir (II)
Si Dua Masketir (II)NameSi Dua Masketir (II)
Type (Ingame)Item Quest
FamilyBook, Si Dua Masketir
RarityRaritystrRaritystrRaritystrRaritystr
DescriptionBuku serian yang sangat populer di Fontaine mengenai konspirasi, balas dendam, keadilan, dan kejahatan.

Table of Content
Item Story
Obtained From
Gallery

Item Story

....
"Berakhirlah sudah ...." Kedua pistol mengarah ke kepala sang Bangsawan. Darah menetes tanpa henti dari gagang salah satu pistol, "Tik ... tik ... tik ....", bagaikan hitungan mundur sisa hidup orang yang berada di ujung moncong pistol tersebut.
"Cih, sekumpulan sampah." maki sang Bangsawan dalam hatinya sambil menatap orang-orang yang tergeletak di belakang kedua penembak dalam hujan badai tersebut. "Begitu banyak uang aku keluarkan, pada akhirnya yang kubeli cuma kematian tanpa rasa sakit begini?"
"Kamu tahu siapa kami?" tanya orang yang sedang menodongkan pistol tersebut.
"Kalau tahu, terus kenapa?"
"Biar kamu gampang lapor ke hakim neraka."
Meski hujan badai menerpa wajah, mata, dan telinganya, ... entah mengapa suara tetesan darah segar tetap terdengar begitu jelas di telinganya, tik ... tik ... tik ....
"Tahu, Iris dan Tulipe, anak-anakku." jawab sang Bangsawan. Dia tidak mau melawan lagi karena merasa sudah sangat lelah. Dia pun terduduk dengan begitu menyedihkan di kubangan lumpur dalam malam hujan badai seperti itu.
Tulipe meludah ke samping.
"Kamu masih berani sebut dirimu sebagai seorang ayah? Waktu kamu bunuh ibu kami dua puluh tahun yang lalu, dengan tatapan apa kamu melihat ibu saat sedang minum racun itu?"
Sang Bangsawan menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya. Dia mengingat kembali peristiwa dua puluh tahun yang lalu. Yang membuatnya terkejut adalah, ini lebih mudah daripada yang dia bayangkan.
Sepasang mata itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Mana mungkin dia tidak jatuh cinta padanya?
Penampilannya yang anggun, tawanya yang merdu ... Sosoknya melangkah dari satu ruangan ke ruangan lainnya sambil mencuri pandang ke arahnya dengan malu-malu.
Apalagi kedua matanya yang berwarna hitam kecokelatan, layaknya taburan bintang di malam hari atau dasar danau yang tenang.
Mana mungkin dia menolaknya?
"Apa kamu mau menikahiku?" Menghadapi sepasang mata tersebut, sang Bangsawan tidak sanggup menjawab "tidak".
Tapi bagaimana bisa wanita itu mengkhianatinya?
Meminta lebih banyak hal lagi kepadanya, bahkan memintanya untuk pergi jauh darinya?
Tik ... tik ... tik ....
"Dia terlalu banyak permintaan ...." kata sang Bangsawan sambil membuka matanya.
"Ibu tidak pernah minta apa pun. Dia cuma berharap bisa hidup tenang seperti orang lain," bantah Iris. Darah yang menetes berasal dari gagang senjatanya, tetapi tangannya sama sekali tidak gemetar.
"Dia mau aku meninggalkan semua kekayaanku untuk kawin lari dengannya!" teriak sang Bangsawan. Kedua bocah di hadapannya ini pasti tidak paham apa itu uang dan kedudukan sehingga dia terpaksa mengucapkan sesuatu yang kekanak-kanakan seperti itu.
"Dia cuma mau kamu melepaskan semua kesombonganmu, tidak peduli lagi dengan pandangan orang lain, dan memberikan dia cinta sejati seperti yang pernah kamu janjikan," kata Iris.
"Kalau kalian ada di posisiku, pasti kalian juga akan ambil keputusan yang sama!"
"Tidak!" jawab Tulipe dengan yakin, "Kami tidak akan membunuh orang yang kami cintai demi uang dan kedudukan. Cuma iblis yang bisa melakukan hal itu."
Sang Bangsawan menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tidak ingin membantah lebih lanjut.
Tik ... tik ... tik ....
"Sebenarnya untuk apa semua ini?" Dia seperti sedang bertanya kepada dirinya sendiri, tetapi juga tampak seperti sedang bertanya kepada kedua penembak tersebut.
"Kalian sudah tidak punya ibu, dan sebentar lagi akan jadi tidak punya ayah. Apa yang akan kalian dapatkan selain hukuman atas perbuatan ini?"
Iris dan Tulipe saling bertatapan, keduanya tidak ragu lagi.
"Keadilan."
Terdengar letusan dua tembakan, bagaikan halilintar yang membelah langit malam di tengah hujan. Seluruh tetesan hujan pun terkejut ketakutan karenanya.
Kedua kakak beradik itu berdiri di tengah hujan untuk waktu yang sangat lama tanpa bergerak sedikit pun. Hujan badai melanda kota tersebut dengan ganas, tetapi tidak ada yang lebih menusuk telinga dibandingkan keheningan mereka saat ini.
Setelah waktu berlalu sekian lama, Iris akhirnya mengeluarkan sekuntum Rainbow Rose dan meletakkannya di dada sang Bangsawan. Kemudian, dia jatuh ke pelukan kakaknya dan menangis dengan kencang. Air hujan menyeka air matanya, mengalir ke tanah di bawah, tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun, yaitu tanah untuk orang-orang mati ....
Tiba-tiba, badannya bergetar dan dia menarik-narik pakaian kakaknya.
"Ada apa, Iris?" tanya kakaknya.
"Kak, lihat ..." Iris menunjuk ke arah Rainbow Rose yang baru saja dia letakkan. Ternyata mawar itu diam-diam mekar dengan warna secerah darah di tengah gelapnya malam.
"Rainbow Rose kesukaan ibu ... sudah mekar."

-Si Dua Masketir, halaman 358.

Obtained From

Shop

Name
Hubel Shop
items per Page
PrevNext

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TopButton